Minggu, 19 November 2017

Etika Profesi


BIDANG PROFESI

      1.      Profesi Hukum
Profesi hukum berkaitan dengan masalah mewujudkan dan memelihara
ketertiban yang berkeadilan di dalam kehidupan bermasyarakat. Ketertiban yang
berkeadilan itu adalah kebutuhan dasar manusia, karena hanya dalam situasi
demikian manusia dapat menjalani kehidupannya secara wajar, yakni sesuai
dengan martabat kemanusiaanya.
Keadilan adalah nilai dan keutamaan yang paling luhur dan merupakan
unsur esensial dari martabat manusia. Oliver W. Holmes Jr. dalam pidato di
hadapan Suffolk Bar Association mengatakan bahwa: “of all secular professions this
has the highest standardt” (dari semua profesi sekular, profesi ini memiliki standar
yang paling tinggi).13 Hukum, kaidah-kaidah hukum positif, kesadaran hukum,
kesadaran etis dan keadilan bersumber pada penghormatan terhadap martabat
manusia. Penghormatan terhadap martabat manusia adalah titik tolak atau
landasan bertumpunya serta tujuan akhir dari hukum.
Dalam dinamika kehidupan sehari-hari tidak jarang terjadi konflik
kepentingan antarwarga masyarakat. Untuk dapat secara teratur menyelesaikan
konflik kepentingan dengan baik demi terpeliharanya ketertiban yang
berkedamaian di dalam masyarakat, diperlukan adanya institusi (kelembagaan)
khusus yang mampu memberikan penyelesaian secara tidak memihak (imparsial)
dan berlandaskan patokan-patokan yang berlaku secara objektif. Demikianlah,
melalui proses yang panjang terbentuklah institusi peradilan lengkap dengan
aturan-aturan prosedural dan jabatan-jabatan yang berkaitan, yakni hakim,
advokat dan jaksa.
Agar dapat menyelesaikan masalah atau konflik yang dihadapkan
kepadanya secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, maka dalam proses
pengambilan keputusan, para hakim harus mandiri dan bebas dari pengaruh
pihak yang mana pun, termasuk dari pemerintah. Dalam mengambil keputusan,
para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang
menjadi atau dijadikan landasan yuridis keputusannya.
Agar putusannya obyektif, maka putusan yang diambilnya untuk
memberikan penyelesaian atas sengketa yang dihadapkan kepadanya harus selalu
berdasarkan fakta-fakta yang terbukti dalam pemeriksaan di persidangan
pengadilan, dan berdasarkan patokan-patokan obyektif yang berlaku umum,
yakni kaidah hukum positif yang berlaku sebagaimana yang dirumuskan dalam
perundang-undangan yang ruang lingkup penerapannya mencakup fakta-fakta
tersebut tadi dengan secara eksplisit menyebutkan ketentuan perundang-
undangan yang dijadikan dasar bagi putusannya, atau kaidah hukum positif yang
berwujud hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis).

Sumber:
journal.unpar.ac.id/index.php/veritas/article/download/1423/1369

Tidak ada komentar:

Posting Komentar