BIDANG PROFESI
1.
Profesi Hukum
Profesi hukum berkaitan dengan
masalah mewujudkan dan memelihara
ketertiban yang berkeadilan di
dalam kehidupan bermasyarakat. Ketertiban yang
berkeadilan itu adalah kebutuhan
dasar manusia, karena hanya dalam situasi
demikian manusia dapat menjalani
kehidupannya secara wajar, yakni sesuai
dengan martabat kemanusiaanya.
Keadilan adalah nilai dan
keutamaan yang paling luhur dan merupakan
unsur esensial dari martabat
manusia. Oliver W. Holmes Jr. dalam pidato di
hadapan Suffolk Bar Association
mengatakan bahwa: “of all secular professions this
has the highest standardt” (dari
semua profesi sekular, profesi ini memiliki standar
yang paling tinggi).13 Hukum,
kaidah-kaidah hukum positif, kesadaran hukum,
kesadaran etis dan keadilan
bersumber pada penghormatan terhadap martabat
manusia. Penghormatan terhadap
martabat manusia adalah titik tolak atau
landasan bertumpunya serta tujuan
akhir dari hukum.
Dalam dinamika kehidupan
sehari-hari tidak jarang terjadi konflik
kepentingan antarwarga
masyarakat. Untuk dapat secara teratur menyelesaikan
konflik kepentingan dengan baik
demi terpeliharanya ketertiban yang
berkedamaian di dalam masyarakat,
diperlukan adanya institusi (kelembagaan)
khusus yang mampu memberikan
penyelesaian secara tidak memihak (imparsial)
dan berlandaskan patokan-patokan
yang berlaku secara objektif. Demikianlah,
melalui proses yang panjang
terbentuklah institusi peradilan lengkap dengan
aturan-aturan prosedural dan
jabatan-jabatan yang berkaitan, yakni hakim,
advokat dan jaksa.
Agar dapat menyelesaikan masalah
atau konflik yang dihadapkan
kepadanya secara imparsial
berdasarkan hukum yang berlaku, maka dalam proses
pengambilan keputusan, para hakim
harus mandiri dan bebas dari pengaruh
pihak yang mana pun, termasuk
dari pemerintah. Dalam mengambil keputusan,
para hakim hanya terikat pada
fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang
menjadi atau dijadikan landasan
yuridis keputusannya.
Agar putusannya obyektif, maka
putusan yang diambilnya untuk
memberikan penyelesaian atas
sengketa yang dihadapkan kepadanya harus selalu
berdasarkan fakta-fakta yang
terbukti dalam pemeriksaan di persidangan
pengadilan, dan berdasarkan
patokan-patokan obyektif yang berlaku umum,
yakni kaidah hukum positif yang
berlaku sebagaimana yang dirumuskan dalam
perundang-undangan yang ruang
lingkup penerapannya mencakup fakta-fakta
tersebut tadi dengan secara
eksplisit menyebutkan ketentuan perundang-
undangan yang dijadikan dasar
bagi putusannya, atau kaidah hukum positif yang
berwujud hukum kebiasaan (hukum
tidak tertulis).
Sumber:
journal.unpar.ac.id/index.php/veritas/article/download/1423/1369
Tidak ada komentar:
Posting Komentar