Kamis, 25 Mei 2017

Kecelakaan di Pertambangan



Kurangnya K3 dalam Pekerjaan


Usaha pertambangan adalah suatu usaha yang penuh dengan bahaya. Kecelakaan-
kecelakaan yang sering terjadi, terutama pada tambang-tambang yang lokasinya
jauh dari tanah. Kecelakaan baik itu jatuh, tertimpa benda-benda, ledakan-ledakan
maupun akibat pencemaran atau keracunan oleh bahan tambang. Oleh karena itu tindakan-
tindakan penyelamatan sangatlah diperlukan, misalnya memakai pakaian pelindung
saat bekerja dalam pertambangan seperti topi pelindung, but, baju kerja, dan lain-lain.


Sesuai sama arahan untuk proses good mining practice, salah satu hal yang
diprioritaskan yaitu memberi jaminan keselamatan dan kesehatan kerja untuk semua
karyawannya. Dan cara memberi jaminan itu yaitu denga memberi pemahaman mengenai
pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dengan cara terus-terusan hingga
akan dapat membuat safety culture

Contoh sederhana karena kecelakaan kerja adalah terjadinya lumpur lapindo yang
terdapat di Porong, sidoarjo. Tragedi semburan lumpur lapindo yang terjadi beberapa
tahun silam, setidaknya menjadi bukti adanya kelalaian pekerja tambang minyak yang
lupa menutup bekas lubang untuk mengambil minyak bumi. Semburan di Porong,
sidoarjo bukan fenomena baru di kawasan Jawa Timur. Fenomena yang sama terjadi
di Mojokerto, Surabaya, Gunung Anyar, Rungkut, Purwodadi, jawa Tengah.
Bencana tambang terbesar dalam sejarah Afrika Selatan juga salah satu yang paling
mematikan di dunia. Pada 21 Januari 1960, longsor di bagian tambang terperangkap
437 penambang. Dari mereka korban, 417 menyerah pada keracunan metana. Setelah
bencana, KP negara membeli peralatan penyelamatan pemboran yang sesuai. Ada teriakan
setelah kecelakaan ketika dilaporkan bahwa beberapa penambang telah melarikan diri ke
pintu masuk pertama, tapi terpaksa kembali ke tambang oleh supervisor.

Pada 15 Desember 1914, ledakan gas di tambang batu bara Hojyo Mitsubishi
di Kyushu, Jepang, menewaskan 687, ini menjadikan kecelakaan tambang paling
parah di jepang. Pada 9 November 1963, 458 penambang tewas dalam tambang batubara
di Omuta Mitsui Miike, Jepang, 438 orang dari keracunan karbon monoksida. Ini,
tambang batubara terbesar di negara ini, tidak berhenti beroperasi sampai 1997.

Sebuah ledakan tambang batubara terjadi di Utara Perancis pada tanggal 10 Maret
1906. Setidaknya dua pertiga dari penambang bekerja pada waktu itu tewas
(1.099 meninggal) termasuk anak-anak. Banyak dari mereka yang selamat menderita
luka bakar atau menderita sakit oleh gas. Satu kelompok 13 selamat tinggal selama
20 hari di bawah tanah, tiga orang yang selamat di bawah usia 18. Kecelakaan
tambang memicu kemarahan masyarakat, pemicu ledakan masih tidak pernah di
temukan. Ini tetap merupakan bencana tambang terburuk dalam sejarah Eropa.



Sumber:
http://data.menkokesra.go.id/content/program-penyehatan-lingkungan
Santoso, B, 1999, “ilmu lingkungan industri”, Universitas Gunadarma, Depok.





Cara Pengelolaan Pembangunan dalam Pertambangan Energi



Pengelolaan Pembangunan dalam upaya pemanfaatan pertambangan


Pertambangan merupakan suatu industri yang mengolah sumber daya alam dengan
memproses bahan tambang untuk menghasilkan berbagai produk akhir yang
dibutuhkan umat manusia. Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bumi dan
air yang biasa disebut dengan bahan-bahan galian, dimana terkandung dalam pasal
33 ayat 3 tahun UUD 1945 yang berbunyi “bahwa bumi, air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Amanat UUD 1945 ini merupakan landasan
pembangunan pertambangan dan energi untuk memanfaatkan potensi kekayaan
sumber daya alam, mineral dan energi yang dimiliki secara optimal dalam mendukung
pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Sumber daya bumi di bidang pertambangan harus dikembangkan semaksimal
mungkin untuk tercapainya pembangunan. Maka perlu adanya survey dan evaluasi
yang terintegrasi dari para alhi agar menimbulkan keuntungan yang besar dengan
sedikit kerugian baik secara ekonomi maupun secara ekologis. Penggunaan
ekologis dalam pembangunan pertambangan sangat perlu dalam rangka meningkatkan
mutu hasil pertambangan dan untuk memperhitungkan sebelumnya pengaruh aktivitas
pembangunan pertambangan pada sumber daya dan proses alam lingkungan yang lebih
luas.

Usaha pertambangan, sebagai motor penggerak pembangunan dalam sector ekonomi,
merupakan dua sisi yang sangat dilematis dalam kerangka pembangunan di Indonesia.
Sesuatu yang disadari termasuk salah kegiatan yang banyak menimbulkan kerusakan
dan pencemaran lingkungan hidup, Keadaan demikian akan menimbulkan benturan
kepentingan usaha pertambangan disatu pihak dan dan usaha menjaga kelestarian alam
lingkungan dilain pihak , untuk itu keberadaan UU No.32 Tahun 2009, ada menjadi
instrument pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terhadap
usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan berupa:
  1. KHLS (Kajian Lingkungan hidup Strategis)
  2. Tata ruang
  3. Baku mutu lingkungan
  4. Kreteria baku kerusakan lingkungan
  5.  Amdal
  6. UKL-UPL
  7. Perizinan
  8. Instrumen ekonomi lingkungan hidup
  9. Peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup
  10. Anggaran berbasis lingkungan hidup
  11. Analisis resiko lingkungan hidup
  12. Audit lingkungan hidup
  13. Instrument lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.
Segala pengaruh sekunder pada ekosistem baik lokal maupun secara lebih luas perlu
dipertimbangkan dalam proses perencanaan pembangunan pertambangan, dan sedapatnya
evaluasi sehingga segala kerusakan akibat pembangunan pertambangan ini dapat dihindari
atau dikurangi, sebab melindungi ekosistem lebih mudah daripada memperbaikinya. Dalam
pemanfaatan sumber daya pertambangan yang dapat diganti perencanaan, pengolahan dan
penggunaanya harus hati-hati seefisien mungkin. Harus tetap diingat bahwa generasi mendatang
harus tetap dapat menikmati hasil pembangunan pertambangan ini.



Sumber:
https://rikihamdanielektro.wordpress.com/2011/12/12/cara-pengelolaan-pembangunan-pertambangan-2/